Kamis, 11 Desember 2008

URGENSI LEMBAGA HISBAH

Oleh: Mardhiyah Hayati
Hisbah adalah institusi keagaaman yang unik, karena ia adalah salah satu institusi yang diletakkan langsung oleh Rasulullah saw, pribadi beliau sendiri adalah muhtasib pertama di dalam Islam. Dalam sebuah riwayat diceritakan , pernah suatu hari Rasulullah berjalan ke pasar dan menghampiri penjual makanan, beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan, beliau terkejut mendapati tangannya basah, dan berkata:” Apa ini wahai penjual makanan ?”, penjual itu menjawab: “ makanan itu terkena hujan ya Rasulullah.” Beliau berkata:” mengapa tidak kamu letakkan di atas, agar bisa dilihat orang. Barang siapa menipu maka ia bukan dari golongan kami !”. (riwayat Muslim). Dalam riwayat yang lain Rasulullah pernah bersabda: “ sesungguhnya para pedagang adalah orang yang curang !. Para sahabat bertanya: “ wahai Rasulullah bukankah Allah telah menghalalkan jual beli ?”, beliau menjawab: “ya’ tetapi mereka bersumpah kemudian berdosa, dan berbicara kemudian berdusta”. (riwayat Turmudzi).[1] Rasulullah juga pernah menolak permintaan para sahabatnya agar menentukan harga yang layak bagi kaum muslimin karena harga-harga di pasar sangatlah tinggi.

Hisbah secara terminologi diambil dari kata HSB yang berarti menghitung (reckoning dan computing) berarti pula kalkulasi, berpikir (thinking), memberikan opini, pandangan dan lain-lain.[2] Sedangkan menurut John L. Esposito, kata hisbah[3] secara harfiah berarti jumlah, hitungan, atau upah, hadiah, pahala. Namun, secara teknis, ia mengandung arti institusi negara untuk mendukung kebaikan dan mencegah kemungkaran (al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar). Institusi hisbah didefinisikan oleh Abdul hadi sebagi sistem “ yang membuat seseorang bisa berlaku benar dalam prilaku mereka.” Dalam kata lain ia adalah institusi check and balances.[4]

Meskipun Al-Qur’an memvisualisasikan setiap muslim dalam peran-peran yang membawa ke penyebaran kebaikan dan pemberangusan kejahatan (QS. Al-Nisa’ (3): 110), negara diberi wewenang untuk melembagakan persiapan untuk mengatur implementasi pemerintahan ini (QS. Al-Nisa’ (3): 104), Oleh karena itu fungsi, fungsi hisbah adalah menjaga tatanan dan hukum publik serta mengawasi prilaku pembeli dan penjual di pasar untuk memastikan prilaku yang benar. Nabi memiliki perhatian untuk melembagakan kelangsungan peraturan ini dengan menyuruh setiap orang berbuat kebaikan dan melarang berbuat kejahatan. Dalam hal ini, nabi disebut muhtashib (orang yang bertanggung jawab menjaga institusi hisbah), meskipun kemudian orang lain ditunjuk untuk mengemban tanggung jawab itu (Sa’id ibn Al-‘Ash di Makkah dan Umar ibn Al-Khathab di Madinah).[5]

Mu’jam al Wasith menerangkan definisi hisbah sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara Islam dengan mengangkat seorang kepala yang bertugas mengawasi urusan umum, harga dan adab umum.[6]
Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya ada tiga poin penting mengenai institusi hisbah, yaitu:[7]
1. Bahwa hisbah adalah sebuah lembaga (departemen) yang secara khusus dibentuk oleh pemerintah.
2. Tugas utamanya adalah melakukan amar makruf nahi mungkar
3. Tugas hisbah yang lebih spesifik adalah mengawasi berbagai kegiatan ekonomi di pasar, menjaga mekanisme pasar berjalan normal dan tidak terdistorsi, dan melakukan tindakan korektif ketika terjadi distorsi pasar.

Menurut Islahi yang mendasarkan pada kajian-kajian kitab klasik, terutama karya Ibnu Taimiyah, dan prakteknya pada perekonomian negara Islam pada masa lalu, menjelaskan fungsi umum al-hisbah, yaitu: [8]
1. Sebuah sistem yang secara umum digambarkan pelaksanaan kebajikan dan kewajiban oleh muhtashib dan berkaitan dengan aspek agama dan yuridis dalam pengurusannya
2. Digambarkan sebagai praktek dan tehnik pengawasan secara detail. Pengawasan secara prinsip dilakukan atas berbagai bentuk produk kerajinan dan perdagangan, bahkan juga mencakup tata administrasi dan kualitas maupun standar produk

Adapun fungsinya secara detail adalah:
1. Pengawasan terhadap kecukupan barang dan jasa di pasar. Al-Hisbah melalui muhtashibnya harus selalu mengontrol ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, misalnya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan lain-lain). Dalam kasus terjadinya kekurangan barang-barang ini al Muhtashib juga memiliki otoritas untuk menyediakan sendiri secara langsung.

2. Pengawasan terhadap industri. Dalam industri ini tugas muhtashib adalah pengawasan standar produk, ia juga mempunyai otoritas untuk menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang terbukti merugikan masyarakat atau negara. Ia juga harus membantu memecahkan perselisihan antara majikan dengan buruh, jika perlu menetapkan upah minimum.

3. Pengawasan atas jasa. Penipuan dan berbagai ketidakjujuran lainnya lebih mudah terjadi di pasar jasa dari pada pasar barang. Al Muhtashib memiliki wewenang untuk mengawasi apakah para penjual jasa seperti dokter, dan sebagainya telah melakukan tugasnya secara layak atau belum, pengawasan atas jasa ini juga berlaku atas penjual jasa tingkatan bawah, seperti buruh pabrik dan lain-lain.

4. Pengawasan atas perdagangan, Al Muhtashib harus mengevaluasi pasar secara umum dan berbagai praktek dagang yang berbeda-beda secara khusus. Ia harus mengawasi timbangan dan ukuran, kualitas produk, menjamin pedagang dan agennya tidak melakukan kecurangan dan praktik yang merugikan konsumen.

5. Perencanaan dan Pengawasan Kota dan pasar. Al Muhtashib berfungsi sebagai pejabat kota untuk menjamin pembangunan rumah atau toko-toko dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum, sehingga memberikan keamanan bagi publik.

6. Pengawasan terhadap keseluruhan pasar. Al Muhtashib harus menjamin segala bentuk kebutuhan agar persaingan di pasar dapat berjalan dengan sehat dan islami, misalnya menyediakan informasi yang transparan bagi para pelaku pasar, menghapus berbagai retriksi untuk keluar dan masuk pasar, termasuk membongkar berbagai praktek penimbunan (ikhtikar).

Yang lebih menarik, Ibnu Taimiyah memposisikan al hisbah tidak sekedar sebagai perangkat ekonomi, tetapi memiliki fungsi religius dan sosial. Ia menyatakan,” Muhtashib harus memerintahkan semua yang berada di bawah wewenangnya untuk melaksanakan sholat Jum’at, menunaikan sholat wajib lainnya, menegakkan kebenaran, membayar kembali simpanan, melarang perbuatan buruk, seperti berkata dusta, mengurangi timbangan dan takaran lainnya, melakukan penipuan pada masalah industri, perdagangan, agama dan sebagainya.[9]
Fungsi muhtashib meliputi hak Allah dan manusia (kewajiban berkenaan dengan sholat, memelihara masjid, masalah komunitas, urusan pasar, dan sebagainya).[10]
Al hisbah didirikan sebagi kontrol dari pemerintah melalui kegiatan perorangan yang khususnya memiliki garapan bidang moral, agama dan ekonomi dan secara umum berkaitan dengan kehidupan kolektif atau publik Islam.

Di masa kini, tidak ada lembaga tunggal yang bisa dikomparasikan dengan hisbah. Di Indonesia pekerjaan dari hisbah itu kini dilakukan oleh berbagai menteri dan departemen yang berbeda.
Selain itu, dalam perbankan syariah, para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syariah

Sedangkan untuk mengatasi praktik-praktik korupsi dan memperbaiki citra Indonesia sebagai negara yang korup, maka pemerintah membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), untuk membantu tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sudah ada, sehingga diharapkan dengan adanya pengawasan yang ketat itu maka tingkat korupsi di Indonesia dapat ditekan, sehingga dapat mempercepat proses perbaikan ekonomi di Indonesia.
Tetapi apa yang terjadi, orang-orang yang duduk dilembaga-lembaga pengawas malah ada (kalau tidak boleh dikatakan banyak) menjadi aktor yang merugikan negara.
Catatan Kaki:
[1] Hafas Furqani, Hisbah: Institusi Pengawas Pasar Dalam Sistem Ekonomi Islam (Kajian Sejarah Dan Konteks Kekinian), Prosiding Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II, “ Sinergi Sektor Riil & Sektor Keuangan untuk Kebangkitan Sistem Ekonomi Islami Di Indonesia , malang 28-29 mei 2004, Universitas Brawijaya
[2] Mustaq Ahmad, Business Ethics In Islam, terj. Indonesia: Etika Bisnis Dalam Islam oleh Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hal. 163

[3] John L. Esposito, Encyclopedia of The Modern Islamic Word, terj. Indonesia: Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern oleh Eva Y.N, dkk, Jilid 2, Bandung: Mizan, 2001), 159

[4] Abdul hadi dalam Mustaq Ahmad, Business Ethics In Islam, terj. Indonesia: Etika Bisnis Dalam Islam oleh Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hal. 163

[5] John L. Esposito, Encyclopedia., hal 159

[6] Mu’jam al Wasith dalam Hafas Furqani, Hisbah., hal. 165

[7] Ibid

[8] Islahi dalam M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hal. 326

[9] Ibid, hal. 327.

[10] John L. Esposito, Encyclopedia., hal 159

Tidak ada komentar: